Tuesday, November 11, 2014

Kupu-Kupu Biru



Siang itu terasa teduh, mungkin matahari sedang enggan menunjukkan sinarnya yang menghangatkan. Semua sudah siap, kakiku bergegas menuju kampus hijauku. Setiap jengkal yang kutapaki di jalan kecil itu akan menjadi kenangan, sebuah sejarah perjalanan. Mungkin di jam-jam seperti itu bukan waktu yang tepat untuk diisi dengan perkuliahan. Ya, jam ngantuk yang akan menyihir siapapun yang mencoba bertahan menerima pelajaran. Ramai lalu lalang calon-calon sarjana muda di sepanjang jalan yang membatasi pemukiman penduduk dengan kampus hijau itu. Jalan itu sudah seperti pasar, menjual berbagai macam keperluan mahasiswa. Jalan itu tak pernah sepi, bahkan di kala malam tiba. Aku senang melihat setiap orang yang melewati jalan itu, di sana tersimpan berjuta kenangan. Persahabatan, percintaan, dan kekeluargaan, tertata begitu abstraknya. Seabstrak suasana yang mengalir menjadi irama yang memiliki keindahan di setiap notnya. Aku mempercepat langkahku, jam menunjukkan waktu perkuliahan akan segera dimulai. Ada sebuah pintu yang menjadi penghubung apa yang ada di dalam dan luar kampus hijau itu. Pintu itu selalu terbuka tak pernah tertutup untuk siapapun. Seperti hatiku yang selalu terbuka untuk siapapun yang mau menerima aku apa adanya. Siang itu, untuk pertama kalinya aku melihat keindahan yang tak bisa hilang dari ingatanku hingga saat ini. Seekor kupu-kupu biru yang cantik, sekejap ia memesona kedua indera peglihatanku. Kedua bola mataku terus mencari-cari kemana perginya kupu-kupu biru itu. Tapi ia terus terbang dan menghilang entah kemana. Aku melanjutkan perjalananku menuju kelas. Kejadian itu mengingatkanku pada seseorang, aku tak tahu mengapa harus dia yang muncul. Aku rasa aku pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan kupu-kupu itu padaku. Suatu hari di jam dan kondisi yang sama, aku berjalan melewati pintu itu dan dari kejauhan aku melihat pria yang membuatku jatuh hati.  Aku tak ingin menatapnya, aku tak ingin memberikan senyumanku padanya, aku tak ingin menyapanya terlebih dahulu. Aku berlalu begitu saja, dan aku merasa dia menyadari aku berjalan melewatinya. Ia menoleh dan berhenti sejenak, namun aku tidak menoleh sedikitpun. Aku bisa merasakannya, dia memandang jauh punggungku dari tempatnya berdiri. Sejujurnya aku ingin menatapnya, menoleh, menyapa dan memberi senyuman terbaikku tapi aku tak bisa lagi. Hari itu aku memesonanya, membuatnya menghentikan langkahnya hanya untuk mengenali diriku. Mungkinkah aku selalu memesonanya? Aku hanya mendengar lelucon bahwa dia memandangiku setiap aku melewatinya. Mungkin itu memang hanya sebuah lelucon, dan angan itu, anganku memesonanya akan tetap terbang tinggi dan menghilang seperti kupu-kupu biru itu. Dan aku tak tahu kapan aku bisa bertemu dengan kupu-kupu biru itu lagi. Birunya kupu-kupu itu, sebiru rinduku padanya.

No comments:

Post a Comment